Sabtu, 16 Februari 2013

Botol Plastik Itu ...




    


Berawal dari mendung yang menutupi wajah sang surya pagi itu. Tetesan rintik air hujan mulai membasahi aspal jalan. Gadis itu berjalan menuju halte bus dekat rumah mungilnya dengan membawa satu keranjang aneka kue di tangan kanannya, sedangkan tangan kirinya membawa setumpuk tugas yang harus ia kumpulkan hari ini. Berjalan bersama sebuah asa agar hari ini lebih baik daripada kemarin. Ia duduk berjejer dengan manusia – manusia lainnya yang juga sedang menunggu bus.
            Ia hanya mempunyai tiga teman baik dalam hidupnya, Tuhan, ibu dan hati kecilnya. Entah apa yang membuatnya selalu kesepian. Mungkin karena sikap acuh tak acuh manusia. Atau karena keegoisan manusia yang menganggapnya tak ada dan terkadang membuatnya terkadang layu. 
            Di bawah langit mendung sehingga mengundang gerimis datang, rasa ketidaksabarannya muncul. Mulailah ia berlari kecil menelusuri jalan menuju ke sekolahnya. Dan waktu menunjukkan pukul 06.30. Ternyata, gerbang sekolah masih menganga lebar saat ia sampai di depan sekolahnya. ‘Syukurlah’ batinnya.
            Berjalan menelusuri setiap lorong menuju ke ruang kelasnya, kemudian meletakkan tasnya yang masih bersarang dibahunya. Dengan segera ia beranjak pergi membawa keranjang yang ada di tangan kanan untuk dititipkannya di kantin sekolah. Di tengah ia berjalan, Ia bertemu dengan sepasang mata angkuh dan sinis itu lagi. Mereka saling menatap dalam diam. Sesegera mungkin merekapun saling memalingkan pandangannya. Lelaki itu berjalan tegap dengan tangan sakunya. ‘Orang aneh’ Lelaki itu berbisik ditelinganya. Gadis itupun tertegun . Dalam sekejap Ia diam dalam kesunyian. Dan ia berbisik dalam batinnya, ‘Ya aku memang aneh. Tetapi inilah diriku menjadi apa adanya diriku. Aku tak perlu menjadi Dia, Kamu ataupun Mereka. Cukup Aku! Tidakkah kamu tau siapa aku? Aku adalah pecundang bersama sebuah cerita yang perlu kamu ingat, tidakkah kamu ingat cerita itu? Ya aku memang pecundang yang tidak bisa meronta, aku hanya bisa berkaca dalam batin. Tidak seperti kalian!’. Tiba – tiba emosinya tersulut dan tak sadar air mata membasahi pipinya.
            Ia segera menitipkan keranjang di kantin sekolah dan beranjak menuju sebuah tempat di balik gedung sekolah. Tempat itu adalah sebuah danau yang indah dan rindang. Dijadikan tempat hidup sepasang penyu kecil yang tak tahu asal usulnya dari  mana. Ini adalah sebuah tempat dimana ia sering menghabiskan waktu kesendiriannya. Saat dunia yang terlupa ini menunjukkan keegoisannya dan mulai mencabik cabik perasaannya. Tetapi saat itu ia menemukan pemandangan lain di sisi danau itu. Seorang lelaki tinggi dengan tas yang masih bersarang di bahunya. Gadis itu tak ingin mengganggu ketenangan seseorang sehingga ia memutuskan pergi. Belum sempat melangkah pergi, ternyata ada suara yang terdengar ditelinganya.
“Tunggu! Maafkan kata – kata kasarku tadi. Aku tidak bermaksud menyakiti perasaanmu.” Kata lelaki itu.
“Tak mengapa. Aku sudah biasa seperti ini. Di remehkan, disinggung bahkan dicemooh.”
“Sejak kapan kamu tahu tempat ini? Ternyata indah juga pemandangan disini.”
“Setelah tercatat satu bulan sejak awal pindah di sekolah ini. Saat itu aku tak tahu harus berteman dengan siapa. Kamu baru tahu?” Jawab gadis itu sembari membalikkan badan dan menuju ke tempat lelaki itu berdiri.
“Ya aku baru tahu, setelah tak sengaja lewat di gedung belakang sekolah.”
“Aku sering melamun di tempat ini. Melamunkan tentang ..... “ Gadis itu tak melanjutkan ceritanya.
“Tentang apa?”
“Sudahlah kamu tak perlu tahu. Mungkin ini tidak penting bagimu. Kamu mau ikut permainanku?”
“Permainan apa?” Jawab lelaki itu dengan singkat.
“Tulis semua keinginanmu disini.” Kata gadis itu sembari mengulurkan sebuah kertas kecil kosong.
Mulailah mereka berdua menodai kertas suci itu dengan goresan tinta hitam tentang keinginan mereka masing – masing. Asyik dengan sendirinya. Dalam keasyikan, dengan tamat Gadis itu menatap lelaki disampingnya secara dalam sambil tersenyum simpul.
“Sudah selesai.” Suara lelaki itu menggelegar membangunkan sang gadis dari lamunannya.
“O..oh sudah selesai. Masukkan ke dalam botol plastik ini.” Kata sang gadis seraya menyodorkan botol plastik yang di dalamnya sudah terisi gulungan kertas kecil berisi keinginan gadis itu. Mulailah ia mengambil ranting pohon yang berserakkan dan mulai membuat sebuah lubang untuk memendam botol plastik itu.
“Gundukan tanah yang berisi botol ini akan aku beri lambang X. Gundukan ini boleh di buka setelah 17 hari mendatang. Kamu tak perlu bertanya mengapa demikian. Karena suatu saat nanti kamu pasti tahu.” Jelas Gadis itu dan beranjak pergi ke kelas karena bel masuk sekolah sudah berbunyi. Dan semakin jauh meninggalkan lelaki itu yang sedang kebingungan.
***
Waktu terus bergulir begitu cepat. Hampir tak ada waktu untuk diam dan bersandar dalam sunyi. Semakin mempersingkat waktu menuju ke penghabisan. Tercatat sudah hari ke 17 setelah hari itu. Dan hari ini mereka telah berjanji bersama – sama membuka botol plastik itu,‘ Setiap pagi, lelaki itu duduk di bibir danau, namun sudah 7 hari ini tak terlihat gadis aneh itu menemaninya. Atau hanya sekedar duduk disampingnya dengan membicarakan sesuatu yang tidak penting. Atapun hanya sekedar menceritakan lelucon – lelucon kecil yang dianggapnya tak lucu, namun ia tetap tertawa. Ia kesepian dalam kesendiriannya. Dalam keheningan ia terlupa. Ia lupa menanyakan nama gadis aneh itu. Betapa bodohnya aku, yang aku tahu hanyalah dia anak baru di sekolah ini.’ batinnya. Dia beranjak dari tempat semula dan mulai melangkahkan kakinya menuju ke ruang kelasnya. Disepanjang perjalanan, ia menanyakan tentang asal usul gadis itu. Namun tiada yang tahu.
“Kamu kenal sama perempuan.. Yang karakteristik anaknya itu kurus, tinggi, rambutnya sebahu, dan ada tahi lalat di pipi sebelah kanannya, setiap pagi dia selalu membawa keranjang di tangan kanannya. Dia anak baru di sekolah ini.” Tanya lelaki itu kepada salah seorang temannya. Ia menanyakan hal yang sama kepada setiap orang yang ia temui. Namun tiada yang tahu. Lantas siapa gadis itu? Rasa penasarannya semakin menjadi jadi. Kemudian ia duduk di bangkunya dengan dihantui rasa penasaran yang teramat hebat.
“Yogi, Kamu kenal sama perempuan.. Yang karakteristik anaknya itu kurus, tinggi, rambutnya sebahu, dan ada tahi lalat di pipi sebelah kanannya, setiap pagi dia selalu membawa keranjang di tangan kanannya. . Dia anak baru di sekolah ini.” Tanyanya pada teman sebangkunya.
“Ohh, anak baru yang aneh itu? Dia anak kelas sebelah. Kata temenku yang sekelas sama dia, Dia sudah beberapa hari ini tidak masuk sekolah. Namun anehnya, pihak sekolah tidak pernah menanyakan kehadirannya pada waktu absensi.” Jawab teman sebangkunya.
Bergegas pergi ke danau belakang sekolah. Dan menggali gundukan tanah tempat botol plastik itu di pendam. Dibukanya gulungan kertas kecil milik wanita aneh itu. Dibacanya dengan suara pelan.
“Hai asta, Apa kabar? Pasti selalu baik. Aku ingin bercerita sedikit tentang sesosok laki – laki yang telah membawaku ke tempat ini. Ya, karena lelaki itu aku bisa sampai di sekolah ini. Aku hanya ingin menemui sahabat kecilku dulu. Sahabat kecilku yang senantiasa menjagaku tak pernah lelah. Pernah teringat di benakku tentang sebuah kenangan disaat duduk di sekolah dasar, dimana dia menjagaku disaat tubuhku lemah tak berdaya karena penyakit itu dan memberi semangat kepadaku sampai aku dapat bertahan. Dia adalah Asta Gunawan Wibisono. Dan hari ini mungkin aku tidak berada di sampingnya karena leukimia ini telah menemani di setiap kehadiranku. Aku sedang berada disisi Tuhan. Aku bahagia disini. Aku...” Belum selesai membaca, terdengar suara seorang perempuan ..
“Ini ada titipan dari safia.” Sambil menyodorkan amplop coklat kepada asta
“Safia menyuruhku untuk datang kesini pada hari ke 17. Dia sudah cerita semuanya kepadaku untuk memastikan kamu sudah membaca surat itu. Dia sudah meninggalkan kita sejak 5 hari yang lalu karena penyakit itu. Mestinya kamu sudah tahu dia sakit apa. Karena kamu adalah sahabat kecilnya dulu yang membuatnya untuk memilih sekolah di SMA ini. Dia tak berani menceritakan ini semua padamu, karena dia merasa bahwa dia bukan siapa siapa disini. Dia terlalu takut. Bahkan Dia menyebut dirinya sendiri pecundang saat dia bercerita kepadaku dengan air matanya yang mulai berlinang. ” Lanjutnya dengan air mata mulai menetes.
“Ini adalah foto saat kita masih kecil dulu. Lucu. (sambil tersenyum simpul). Tapi dia tak ada disini sekarang (mimik wajahnya mulai berubah). Dia sudah tenang di alam sana. Tapi dia tetap berada di hati ini sebagai sahabat kecilku dulu. Dia tetap ada.”